Pasang IKLAN BARIS GRATIS! DAFTAR | LOGIN


'Jodoh' Dalam Wujud Rumah Limasan

    rumah limasan
    rumah limasan
    rumah limasan
    rumah limasan

    Rumah sebagai tempal tinggal dipercaya memiliki keterkaitan jodoh atau pulung (bhs Jawa) yang berarti 'anugerah bagi mereka yang berjodoh'. Hal ini dirasakan oleh Yuli Kuswoyo dengan bangunan rumahnya yang bergaya limasan. Yuli menemukan rumah limasan ini secara tidak sengaja ketika melaksanakan tugasnya di Dusun Banjarharjo, Dlinggo, Bantul untuk membangun sebuah pusat pelatihan pemuda pasca gempa Bantul 2006 silam.

    Di kampung tersebut, Yuli bertemu dengan beberapa warga dan memberitahu bahwa ia sedang mencari rumah yang tua tapi pemiliknya sudah tidak mampu merawat dan ingin ngopeni saja. Ia ditunjukkan sebuah rumah tua yang dulunya milik seorang Demang. “Kondisi pertamanya sangat parah. Rumah itu dulunya milik Demang dan yang menghuni rumah tersebut adalah generasi keempat. Pemiliknya sudah tua dan akan diboyong oleh anaknya. Kalau ada yang beli baru mau pindah. Jadi, ketika saya beli rumah tersebut masih dalam keadaan berdiri,” kenang Yuli.

    Sebelum membeli rumah limasan milik demang tersebut, sebelumnya Yuli sudah ditawari dua rumah dengan model yang sama. Mungkin ia sudah ditakdirkan berjodoh dengan rumah demang tersebut. Pemilihan Yuli terhadap rumah berarsitektur tradisional bukanlah tanpa suatu alasan. Ia merasa prihatin dengan kondisi masyarakat desa yang arsitektur rumahnya cenderung modern dan ia jarang menjumpai rumah yang bergaya arsitektur tradisional dan merupakan rumah asli Indonesia. “Rumah sekarang cenderung modern, minimalis. Saya sering berkunjung ke desa-desa dan menjumpai tren rumah-rumah tradisional dijual dan pemiliknya merubahnya menjadi modern. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Biasanya pemilik ngga sanggup merawat rumah kayu. Kalau tidak dirawat, kayu dimakan rayap, keropos terkena cuaca. Dan kalau diganti pun, tidak sanggup karena kayunya mahal. Ganti rumah tembok, cepat, murah,” terang Yuli yang berprofesi sebagai arsitek. Perubahan ini juga dipengaruhi oleh media bahwa rumah yang bagus itu yang modern. Banyak sinetron atau film yang menampilkan rumah yang mewah dengan segala perabotannya.

    Ia juga menambahkan bahwa adanya anggapan strata sosial di masyarakat kalau rumah kayu itu dianggap miskin, kuno. Campur tangan pemerintah pun turut ambil bagian. “Pasca gempa pemerintah menghimbau rumah yang tahan gempa itu adalah bangunan yang permanen. Permanen oleh masyarakat diartikan tembok dan semen padahal bangunan kayu pun itu juga permanen,” beber pria kelahiran Jogjakarta ini. Yuli dan teman-teman arsiteknya yang lain mempunyai sebuah gerakan untuk kembali melestarikan/mengkonservasi rumah tradisional karena juga merupakan kearifan lokal yang harus dijaga. “Arsitektur tradisional itu harus dikuatkan dan dikembangkan sebagai arsitektur Nusantara,” tambahnya.

    Menghimbau tapi tidak melakukan sama saja dengan omong kosong menurutnya, maka ia memilih bangunan limasan sebagai rumah tinggalnya yang terletak di Dusun Blambangan RT 4/ RW 5, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Sleman. Ketika ia membeli rumah limasan tersebut banyak warga sekitar yang sangsi dan menganggap rumah itu sudah tidak layak. Tapi Yuli sudah bertekad dan menurut tukang kayu kepercayaannya kayu bangunan tersebut masih dalam kondisi bagus dan dilakukanlah proses pembongkaran. Proses pembongkaran dan merangkai kembali susunannya (belum berdiri) membutuhkan waktu selama 2 bulan. “Blandar atas panjangnya 10 meter dan kayu utuh.

    Dlinggo kondisi jalannya kecil dan muter-muter dan bawanya pake truk. Daripada patah di jalan dan tidak bisa dipakai, akhirnya dengan berat hati saya potong menjadi dua bagian,” ujar Yuli menceritakan proses pembongkaran rumahnya. Rumah limasan tersebut dibangun seperti aslinya pada proses pembongkaran. Semua kayu struktur bangunan berkurang 0,5 cm karena diserut lagi agar nampak seperti baru. Tiang penyangga utama berkurang 30 cm karena keropos dan dipotong. Untuk mengakali agar tetap nampak seperti aslinya, umpak batu dinaikkan. “Modifikasi sedikit-sedikit tapi secara sistem tidak ada yang berubah. Begitu pula sistem penyambungannya,” ujarnya.

    Di bagian sambungan tiang penyangga tertera angka 2011. “Angka itu merupakan tetenger naiknya molo, ditatah sama tukang. Di sisi bawahnya masih terdapat tanggal asli,” terang Yuli. Bagian depan rumah ini masih menggunakan dinding gebyok lengkap dengan pintu kayunya yang masih asli. Pintu ini masih menggunakan engsel kayu begitu pula sistem pengunciannya. Pada bagian samping rumah masih menggunakan dinding gebyok yang dipadukan dengan dinding bata pada bagian bawahnya. “Bagian bawahnya keropos karena tertanam di tanam, akhirnya saya potong dan tambahi dinding bata,” terang Yuli. Gebyok samping ini menghadap ke arah timur sehingga ditaruhlah jendela dengan susunan bertingkat agar cahaya matahari bisa masuk dan tidak terlalu lembab sekaligus sebagai pengatur sirkulasi udara. Kaca model lama berwarna hijau dan kuning terdapat di atas dan bawah jendela bertingkat ini.

    Selain memperkuat kesan 'lama' bila tertimpa sinar matahari kaca ini akan membiaskan dan mempendarkan cahaya yang apik. Selain berdinding gebyok pada bagian depan dan samping, hampir semua dinding rumah menggunakan dinding bata ekspos. Pemilihan ini didasarkan pada sifat batu bata yang dingin. Batu bata mempunyai pori-pori sehingga bila dibiarkan tanpa ditutup/diaci dia akan bernapas. Batu bata yang digunakan pun batu bata biasa bukan batu bata yang khusus ekspos karena batu bata biasa pori-porinya lebih besar dibandingkan batu bata khusus ekspos yang dipadatkan. “ Dari segi estetika memang kurang tapi saya ingin menonjolkan sisi sirkulasi udaranya,” jelas Yuli.

    Ruangan di rumah ini tidak menggunakan penyekat pada bagian antar ruang sehingga nampak luas dan lapang. Karena menurut Yuli, makna ruang itu tidak perlu dibatasi. Pemakaian furnitur pun diminimalisir penggunaannya. Beberapa kursi dan meja terdapat di sudut ruang untuk menerima tamu. Kursi dan meja itu dialasi tikar dari anyaman mendong. Sebuah meja panjang difungsikan untuk memajang foto-foto keluarga. Sebuah sketsel berpintu tiga menjadi latarnya. Sketsel ini merupakan peninggalan dari simbah Yuli. Sebuah tikar anyaman mendong juga dimanfaatkan sebagai alas penghangat ketika menonton TV. Peminimalan furnitur juga dilakukan dengan membuat salah satu sudut kamar dibuat menjadi etalase pajangan.

    Sisa-sisa kayu reng bangunan lama dimanfaatkan sebagai panel pintu dan kayu usuknya juga bawaan aslinya, besar dan lebar. “Kayu usuk rumah lama jaraknya rapat-rapat, sekarang agak saya perlebar. Sisa kayunya untuk kusen. Hampir 90% kayu yang dibawa dari atas (Dlinggo) tidak ada yang dibuang,” papar Yuli. Bambu cendani dipilih sebagai pengisi panel pintu kamar mandi sehingga memberikan aksen apik dan tidak meninggalkan nuansa tradisionalnya. Dinding berongga dimanfaatkan sebagai sekat pemisah antara kamar mandi dengan ruang terbuka.

    Rumah ini sewaktu proses pembangunannya lebih menekankan ke aspek pembelajaran kepada tukang. Misalnya saja dalam hal pemasangan batu bata. Biasanya tukang cuma mengikuti pengalamannya saja, asal pasang dan tidak rapi. Yuli mencoba mengembalikkan ke hakikat dasar rancang bangun. “Pemasangan batu bata biasanya tukang asal pasang saja. Plak-plek, plak-plek jadi. Kok cepat dan ngga rapi to Pak? Nanti'kan di plester. Padahal hakikatnya tukang masang batu bata itu pada tekniknya, seninya. Tukang zaman sekarang, ada semen , plester, yang penting cepat. Saya kembalikan ke hakikatnya. Masang salah, bongkar. Masang salah, bongkar. Begitu seterusnya hingga benar. Dari situ ia jadi belajar. Pemasangan batu bata itu harus hati-hati, rapi dan tanpa mengurangi estetikanya sudah jadi finishing. Sekaligus meningkatkan kapasitas tukang. Kalau asal plak-plek sangat boros sekali, jika dihitung bisa menghabiskan bersak-sak semen tapi itu terkonversi menjadi ongkos tukangnya mahal karena lama,” jelas Yuli.

    Tiang penyangga teras di rumah ini tidak lurus melainkan berlekuk-lekuk indah. Tiang ini terbuat dari pohon akasia. Akasia mempunyai keunggulan yaitu kayunya keras dan tidak dimakan kutu/rengat. “Akasia sangat kuat sebagai struktur bangunan maupun sebagai tiang penyangga. Karena kayunya bengkok-bengkok, ga ada yang lurus sehingga jarang yang memakainya. Tiang teras ini yang lama proses menghaluskannya. Karena permukaannya yang berlekuk-lekuk, dikerok menggunakan pecahan kaca,” ujar Yuli. Di ujung teras terdapat sebuah Musholla tanpa pintu sehingga semua orang bisa menggunakannya. Musholla ini menggunakan lantai parket sebagai alasnya.

    Dinding berongga pun diaplikasikan di musholla ini sehingga sirkulasi udara tetap lancar. Rumah ini berdiri di lahan seluas 1000 m² dengan luas bangunan 12x14 m dan merupakan limasan yang cukup besar. Pada awal mulanya, konsep rumah limasan ini difungsikan sebagai rumah persinggahan/paviliun dan rumah induk ada di bagian belakang. “Ketika melihat luasnya, kayaknya sayang kalau dibuat paviliun. Akhirnya saya tempati saja. Untuk perluasan rumah limasan, kayaknya nggak deh. Karena kalau ditambah ruangan lagi akan rusak tidak seperti aslinya. Mungkin akan membangun bangunan baru,” ujar Yuli menutup perbincangan sore itu. Ganang-Red

    PARTNER
    Archira - Architecture & Interior    A + A Studio    Sesami Architects    Laboratorium Lingkungan Kota & Pemukiman Fakultas Arsitektur dan Desain UKDW    Team Arsitektur & Desain UKDW    Puri Desain